Senin, 01 Oktober 2012

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


1.Definisi
Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan atau membuat sesorang merasa tidak berdaya (Smith & Segal, 2008). National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya dimana peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan ataupun perang .
Post-traumatic stress disorder dapat mempengaruhi mereka yang secara pribadi mengalami bencana atau musibah besar, mereka yang menjadi saksi atas kejadian tersebut, dan mereka yang membantu dalam kejadian tersebut, termasuk pekerja sosial dan petugas keamanan. Hal ini dapat terjadi di kalangan teman atau kerabat dari orang yang mengalami trauma (Smith & Segal. 2008). Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam (American Psychological Association, 2004).
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, (DSM-IV-TR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian trauma yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau ancaman kematian, atau cidera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan yang ekstrem, horor atau rasa tidak berdaya. Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman yang normal bagi seseorang.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan, gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan yang diakibatkan satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman kematian, kematian, atau cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya yang mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangan dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian.

2.Etiologi
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres pasca trauma. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight.
Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,    denyut jantung, dan glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang maka tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia, ataupun akibat kecelakaan. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres pasca trauma setelah suatu peristiwa traumatik.

3.Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan stres pasca trauma, antara lain:
a.Seberapa berat dan dekat trauma yang dialaminya. Semakin berat trauma yang dialami dan semakin dekat ia berada saat kejadian, semakin meningkatkan risiko PTSD.
b.Durasi trauma yang dialamiya. Semakin lama/kronik seseorang mengalami kejadian trauma, semakin berisiko berkembang menjadi PTSD ( misalnya: kekerasan pada anak di rumah).
c.Banyaknya trauma yang dialami. Trauma yang multipel lebih berisiko menjadi PTSD.
d.Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku dan korban (misalnya: kekerasan anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri), semakin berisiko menjadi PTSD.
e.Kejadian trauma yang sangat interpersonal seperti perkosaan.
f.Jenis kelamin. Anak dan remaja perempuan lebih berisiko dibandingkan laki-laki.
g.Kondisi sosial - ekonomi yang rendah (kaum minoritas) berisiko lebih tinggi akibat dari tingginya angka kekerasan di daerah tempat ia tinggal.
h.Usia. PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak dan usia tua (>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami PTSD. Anak-anak memiliki kebutuhan dan kerentanan khusus jika dibandingkan dengan orang dewasa, terutama karena masih ketergantungan dengan orang lain, kemampuan fisik dan intelektual yang sedang berkembang, serta kurangnya pengalaman hidup dalam memecahkan berbagai persoalan sehingga dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.
i.Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya, seperti depresi, fobia sosial, dan gangguan kecemasan.
j.Memiliki penyakit organik yang berat dan kronis, seperti kanker.
k.Pasien yang berada di bawah pengaruh anestesi. Pasien akan memperoleh kembali kesadarannya saat dilakukannya operasi.
l.Seseorang yang tidak berpengalaman dan tidak memperoleh pelatihan dalam menghadapi bencana lebih berisiko dibandingkan mereka yang mendapatkannya (seperti: polisi, petugas pemadam kebakaran, petugas paramedik).
m.Hidup di tempat pengungsian ( misalnya: sedang ada peperangan/konflik di daerahnya).
n.Kurangnya dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan.

4.Gejala
Pada umumnya para penderita PTSD mengalami beberapa gejala yang sangat mengganggu para penderita gangguan tersebut. Beberapa gejala yang di alami para penderita PTSD antara lain :
a.Ingatan atau bayangan mencengkeram tentang trauma, atau merasa seperti kejadian terjadi kembali ("Flashbacks").
b.Respon-respon fisik seperti dada berdebar, munculnya keringat dingin, lemas     tubuh atau sesak nafas saat teringat atau berada dalam situasi yang mengingatkan pada kejadian.
c.Kewaspadaan berlebih, kebutuhan besar untuk menjaga dan melindungi diri.
d.Mudah terbangkitkan ingatannya bila ada stimulus atau rangsang yang berasosiasi dengan trauma (lokasi, kemiripan fisik atau suasana, suara dan bau, dan  sebagainya).
Diagnosis baru bisa ditegakkan apabila gangguan stres pasca trauma ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat. Gejala yang harus muncul sebagai bukti tambahan selain trauma bahwa seseorang telah mengalami  gangguan ini adalah:
a.Individu tersebut mengalami mimpi-mimpi atau bayang-bayang dari kejadian traumatik     tersebut secara berulang-ulang kemabali (flashback).
b.Muncul gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku. Gejala ini mungkin saja mewarnai hasil diagnosis akan tetapi sifatnya tidak khas.
Menurut DSM IV-TR, kriteria diagnosis bagi penderita gangguan stress pasca trauma:
  • A.Orang telah terpapar dengan suatu peristiwa traumatik dimana terdapat kedua dari berikut ini:
1.Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik sendiri atau orang lain.
2.Respon orang tersebut berupa ketakutan yang hebat, rasa tidak berdaya, atau horor.
Catatan:
Pada anak-anak, hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau atau teragitasi.
  • B.Peristiwa traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut:
1.Ingatan tentang peristiwa yang menyebabkan penderitaan bersifat berulang dan mengganggu, meliputi bayangan, pikiran, atau persepsi.
Catatan:
Pada anak kecil, dapat mengekspresikannya dengan permainan berulang dengan tema atau aspek trauma.
2.Mimpi menakutkan yang berulang tentang peritiwa.
Catatan:
Pada anak kecil, dapat berupa mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.
3.Bertindak atau merasa seolah-olah peristiwa traumatik kembali terjadi (meliputi perasaan mengalami kembali, ilusi, halunsinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi saat terjaga atau intoksilasi).
Catatan:
Pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali trauma spesifik.
4.Penderitaan psikologis yang kuat pada pemaparan terhadap tanda internal atau eksternal yang disimbolkan atau menyerupai aspek kejadian traumatik.
5.Reaktivitas psikologis pada pemaparan terhadap tanda internal atau eksternal yang disimbolkan atau menyerupai aspek kejadian traumatik.
  • C.Penghindaran menetap dari stimulus yang berhubungan dengan trauma dan kaku pada responsivitas secara umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut:
1.Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang dihubungkan dengan trauma.
2.Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang membangkitkan ingatan terhadap trauma.
3.Tidak mampu mengingat kembali aspek penting dari trauma.
4.Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas penting.
5.Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.
6.Rantang afek terbatas (misalnya, tidak mampu untuk memiliki perasaan cinta).
7.Perasaan masa depan pendek (misalnya, tidak berharap memiliki karier, menikah, anak-anak, atau umur harapan hidup yang normal).
  • D.Adanya gejala peningkatan kewaspadaan yang menetap (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut ini:
1.Kesulitan untuk mulai atau tetap tidur.
2.Iritabilitas atau ledakan kemarahan.
3.Kesulitan untuk berkonsentrasi.
4.Kewaspadaan berlebih.
5.Respon kejut yang berlebih.
  • E.Durasi gangguan (gejala dalam kriteria B,C, dan D) lebih dari 1 bulan.
  • F.Gangguan menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

5.Onset
Onset dikatakan lambat jika onset gejala paling kurang 6 bulan setelah stressor. Onset dikatakan akut jika durasi gejala kurang dari 3 bulan. Onset dikatakan kronik jika durasi gejala 3 bulan atau lebih.

6.Prevalensi
Kerentanan terhadap PTSD kemungkinan tergantung pada faktor-faktor seperti resiliensi dan kerentanan terhadap efek trauma, riwayat penganiayaan seksual pada masa anak-anak, keparahan trauma, derajat pemaparan, ketersediaan dukungan sosial, penggunaan respon coping aktif dalam menghadapi stressor, dan perasaan malu.

7.Terapi
Sebelum menjalani terapi atau program-program apapun, dilakukan evaluasi psikologis pada individu terlebih dahulu. Tindakan ini untuk memahami kepribadian individu, trauma yang dialami, dan dampak dari trauma tersebut pada dirinya. Evaluasi juga dapat membantu terapis untuk memahami berbagai risiko tambahan dan menemukan kekuatan dari klien. Jika terapi diisyaratkan sebagai proses yang harus dijalani oleh anak, maka perlu konsultasi dengan terapis yang benar-benar berpengalaman dengan kasus anak-anak (bukan dewasa). Hal ini harus sangat diperhatikan karena proses evaluasi dapat dialami sebagai proses yang sangat berat dan dapat menimbulkan trauma sekunder. Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif.
  • Psikoterapi
1)Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Berdasarkan penelitian, Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan pendekatan yang paling efektif dalam mengobati penderita PTSD. Dalam Cognitive Behavioral Therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan menganggu kegiatan-kegiatan penderita PTSD.
2)EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagai landasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilaku kita.
  • Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obat-obatan. Terapi ini diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang menyebabkan kecemasan, kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata lain merupakan terapi simptomatik pada PTSD. Terapi obat ini bukanlah lini pertama dalam penanganan PTSD tetapi dapat dijadikan sebagai pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil yang optimal dalam menangani kasus PTSD. Macam-macam farmakoterapi adalah sebagai berikut :
1)Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)
SSRIs merupakan obat lini pertama dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu). Obat ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake serotonin diotak. Obat golongan SSRIs yang disetujui oleh FDA dalam mengatasi gejala depresi pada anak PTSD yakni, Fluoxetine (Prozac). Obat ini digunakan untuk anak usia lebih dari 8 tahun dengan dosis awal 10 mg/ hari selama satu minggu kemudian dapat ditingkatkan sampai 20 mg/hari dan diberikan secara peroral.
2)Beta adrenergic blocking agents
Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat ini dapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kg BB/hari
3)Mood stabiizers
Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dan gejala impulsif.
Dosis Carbamazepine (Tegretol):
a)6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu dapat dinaikkan hingga 100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30 mg/kg/hari
b)>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml
Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosis initial dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari.

0 komentar:

Posting Komentar