Merokok Merugikan!!!

Konsumsi rokok merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, stroke, kanker, penyakit paru kronik dan diabetes mellitus dan merupakan penyebab kematian utama di dunia,

Pijat Bayi

Pijat bayi mempunyai banyak keuntungan, antara lain mengurangi kebiasaan menangis, menaikkan berat badan, membuat bayi mudah tidur, melat ih eye contact dengan Ibu, mengurangi level stres hormon bayi, juga membantu bayi untuk buang air besar...

Sejarah FK UGM

Sejarah berdirinya Fakultas Kedokteran UGM tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Sebagai fakultas tertua di Indonesia, tonggak berdirinya Fakultas Kedokteran UGM melalui proses yang sangat panjang. Pada jaman penjajahan Belanda terdapat dua sekolah kedokteran yaitu Geneeskundige Hoge School (GHS) di Jakarta dan Netherlands Indische Arsten School (NIAS) di Surabaya. Selanjutnya...

Arti Lambang UGM

Pusat lambang. Ia berupa surya atau matahari yang berlubang dan memancarkan sinar dalam bentuk lima kesatuan kumpulan sinar. Setiap kesatuan kumpulan sinar terdiri dari sembilan belas sorot sinar. Warna surya dan sinar, kuning emas...

Sejarah UGM

Dengan berdirinya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, maka pada tahun 1 946 terdapat dua perguruan tinggi di Yogyakarta. Yang satu lagi adalah Sekolah Tinggi Teknik, yang berdiri tanggal 17 Februari 1946...

Kamis, 19 Maret 2015

SPONDYLO LISTESIS




A. Definisi Spondilolistesis
Spondilolistesis merupakan subluksasi tulang belakang yang sering dijumpai pada individu muda. Ketika subluksasi terjadi secara terpisah karena degenerasi discus intervertebralis dan arthritis permukaan sendi pada populasi geriatri (spondilolistesis degeneratif), pada orang tua dan dewasa muda, umumnya berasal dari defek tulang pada arkus laminar (spondilosis pars interartikularis) pada satu atau lebih vertebra.
Dalam istilah yang sederhana, spondilolistesis menggambarkan suatu pergeseran vertebra atau pergeseran kolumna vertebralis yang berhubungan dengan vertebra di bawahnya. Pertama sekali diperkenalkan pada tahun 1782 oleh ahli obstetric Belgia, Dr. Herbinaux.
Dia melaporkan terdapatnya penonjolan bagian anterior tulang sacrum yang menyebabkan hambatan jalan lahir pada sebagian kecil pasien.Istilah“spondilolisthesis” pertama sekali diterima pada tahun 1854, berasal dari bahasa yunani “spondylo” untuk vertebra dan “olisthesis” untuk pergeseran. Pergeseran tersebut sering terjadi pada tulang vertebra lumbal.
Spondilolistesis menunjukkan suatu pergeseran kedepan satu korpus vertebra bila dibandingkan dengan vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya terjadi pada pertemuan lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1, akan tetapi hal tersebut dapat terjadi pada tingkatan yang lebih tinggi.
Umumnya diklasifikasikan ke dalam lima bentuk: kongenital atau displastik, isthmus, degeneratif, traumatik, dan patologis. Banyak kasus dapat diterapi secara konservatif.
Meskipun demikian, pada individu dengan radikulopati, klaudikasio neurogenik, abnormalitas postural dan cara berjalan yang tidak behasil dengan penanganan non-operatif, dan terdapatnya pergeseran yang progresif, pembedahan dianjurkan. Tujuan pembedahan adalah untuk menstabilkan segmen spinal dan menekan elemen saraf jika dibutuhkan.

B. Epidemiologi
Keadaan ini lebih sering terjadi pada tulang vertebra spinalis bawah ( 85% pada L5; 10% pada L4; dan 4 % pada semua vertebra lumbalis bagian lainnya), jarang dijumpai pada segmen vertebra yang lain. Defek pada tulang umumnya terjadi pada masa kanak-kanak lanjut. Biasanya akibat stress fracture yang terjadi akibat tekanan berlebihan pada arkus laminar vertebra.
Tekanan yang berlebihan tersebut umumnya akibat posisi berdiri keatas ( tidak dijumpai pada anak-anak yang tidak bisa berjalan) atau aktivitas atletik yang menggunakan penyangga punggung (misalnya senam, sepakbola, dan lain sebagainya).
Jika celah/keretakan tersebut diketahui segera setelah terjadi, jika tulang belakang/vertebra berada dalam keadaan immobile, celah/keretakan tersebut dapat mengalami perbaikan dalam beberapa bulan. Jika diagnosis tertunda, pinggir celah/bagian yang retak tersebut tidak akan membaik dengan immobilisasi jika terdapatnya resorpsi pinggir celah.
Bilamana defek pars interarticularis terjadi karena fraktur akut akibat trauma hebat (kecelakaan lalu lintas, atau cedera/trauma hebat lainnya), angka kejadiannya sangat jarang dan biasanya kurang dari 1% dari kasus spondilolistesis yang terjadi.
Spondilolistesis mengenai 5-6% populasi pria, dan 2-3% wanita. Karena gejala yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering ditandai dengan nyeri pada bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha dan tungkai.
Sering penderita mengalami perasaan tidak nyaman dalam bentuk spasme otot, kelemahan, dan ketegangan otot betis (hamstring muscle). Meskipun demikian, banyak penelitian menyebutkan bahwa terdapat predisposisi kongenital dalam terjadinya spondilolisthesis dengan prevalensi sekitar 69% pada anggota keluarga yang terkena. Lebih lanjut, kelainan ini juga berhubungan dengan meningkatnya insidensi spina bifida sacralis.
Banyak penelitian mengindikasikan bahwa pada splastic spine, stress traumatic berulang pada pars interarticularis akan dapat mengakibatkan kegagalan struktural.
Vertebra L4 dan L5- paling penting pada tulang belakang lumbosacral- merupakan bagian yang paling sering terkena, penanganan deangan memberikan stabilisasi dan mencegah pergerekan yang tidak dibutuhkan merupakan kunci utama dalam penatalaksanaan kelainan tersebut.

C. Etiologi dan Klasifikasi Spondilolistesis
Etiologi spondilolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital tampak pada spondilolistesis tipe 1 dan tipe 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan stres/tekanan kosentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam terjadinya pergeseran tersebut.
Terdapat lima tipe utama spondilolistesis:
    Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik dan terjadi sekunder akibat kelainan kongenital pada permukaan sacral superior dan permukaan L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5.
    Tipe II, isthmic atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna pada individu dibawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa adanya pergeseran
tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut dengan spondilolistesis.
Tipe II dapat dibagi kedalam tiga subkategori:
    Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress spondilolisthesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktiur rekuren yang disebabkan oleh hiperketensi. Juga disebut dengan stress fracture pars interarticularis dan paling sering terjadi pada pria.
    Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars interartikularis masih tetap intak akan tetapi meregang dimana fraktur mengisinya dengan tulang baru.
    Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotope diperlukan dalam menegakkan diagnosis kelainan ini.
    Tipe III, merupakan spondilolistesis degeneratif, dan terjadi sebagai akibat degenerasipermukaan sendi lumbal. Perubahan pada permukaan sendi tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang. Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III, spondilolistesis degeneratif tidak terdapatnya defek dan pergeseran vertebra tidak melebihi 30%.
    Tipe IV, spondilolistesis traumatik, berhubungan dengan fraktur akut pada elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/facet) dibandingkan dengan fraktur pada bagian pars interartikularis.
    Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya.

D. Patofisiologi Spondilolistesis
Sekitar 5-6% pria dan 2-3% wanita mengalami spondilolistesis. Pertama sekali tampak pada individu yang terlibat aktif dengan aktivitas fisik yang berat seperti angkat besi, senam dan sepak bola. Pria lebih sering menunjukkan gejala dibandingkan dengan wanita, terutama diakibatkan oleh tingginya aktivitas fisik pada pria.
Meskipun beberapa anak-anak dibawah usia 5 tahun dapat mengalami spondilolistesis, sangat jarang anak-anak tersebut didiagnosis dengan spondilolistesis. Spondilolistesis sering terjadi pada anak usia 7-10 tahun. Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sepanjang aktivitas sehari-hari mengakibatkan spondilolistesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa.
Spondilolistesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana masing-masing mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara lain tipe displastik, isthmik, degeneratif, traumatik, dan patologik.
Spondilolistesis displatik merupakan kelainan kongenital yang terjadi karena malformasi lumbosacral joints dengan permukaan persendian yang kecil dan inkompeten. Spondilolistesis displastik sangat jarang, akan tetapi cenderung berkembang secara progresif, dan sering berhubungan dengan defisit neurologis berat.
Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior dan prosesus transversus cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan area permukaan kecil untuk fusi pada bagian posterolateral.
Spondilolistesis displatik terjadi akibat defek arkus neural pada sacrum bagian atas atau L5. Pada tipe ini, 95% kasus berhubungan dengan spina bifida occulta. Terjadi kompresi serabut saraf pada foramen S1, meskipun pergeserannya (slip) minimal.
Spondilolistesis isthmic merupakan bentuk spondilolistesis yang paling sering. Spondilolistesis isthmic (juga disebut dengan spondilolistesis spondilolitik) merupakan kondisi yang paling sering dijumpai dengan angka prevalensi 5-7%.
Fredericson et al menunjukkan bahwa defek sponsilolistesis biasanya didapatkan pada usia 6 dan 16 tahun, dan pergeseran tersebut sering terjadi lebih cepat. Ketika pergeseran terjadi, jarang berkembang progresif, meskipun suatu penelitian tidak mendapatkan hubungan antara progresifitas pergeseran dengan terjadinya gangguan diskus intervertebralis pada usia pertengahan.
Telah dianggap bahwa kebanyakan spondilolistesis isthmik tidak bergejala, akan tetapi insidensi timbulnya gejala tidak diketahui. Suatu studi/penelitian jangka panjang yang dilakukan oleh Fredericson et al yang mempelajari 22 pasien dengan mempelajari perkembangan pergeseran tulang vertebra pada usia pertengahan, mendapatkan bahwa banyak diantara pasien tersebut mengalami nyeri punggung, akan tetapi kebanyakan diantaranya tidak mengalami/tanpa spondilolistesis isthmik.
Satu pasien menjalani operasi spinal fusion pada tingkat vertebra yang mengalami pergeseran, akan tetapi penelitian tersebut tidak menunjukkan apakah pergeseran isthmus merupakan indikasi pembedahan.
Secara kasar 90% pergeseran ishmus merupakan pergeseran tingkat rendah(low grade)(kurang dari 50% yang mengalami pergeseran) dan sekitar 10% bersifat high grade ( lebih dari 50% yang mengalami pergeseran).
Sistem pembagian/grading untuk spondilolistesis yang umum dipakai adalah sistem grading Meyerding untuk menilai beratnya pergeseran.
Kategori tersebut didasarkan pengukuran jarak dari pinggir posterior dari korpus vertebra superior hingga pinggir posterior korpus vertebra inferior yang terletak berdekatan dengannya pada foto x ray lateral.
Jarak tersebut kemudian dilaporkan sebagai panjang korpus vertebra superior total:
•    Grade 1 adalah 0-25%
•    Grade 2 adalah 25-50%
•    Grade 3 adalah 50-75%
•    Grade 4 adalah 75-100%
•    Spondiloptosis- lebih dari 100%
Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan spondilosis menjadi spondilolistesis. Tekanan/kekuatan gravitasional dan postural akan menyebabkan tekanan yang besar pada pars interartikularis.
Lordosis lumbal dan tekanan rotasional dipercaya berperan penting dalam perkembangan defek litik pada pars interartikularis dan kelemahan pars inerartikularis pada pasien muda.
Terdapat hubungan antara tingginya aktivitas selama masa kanak-kanak dengan timbulnya defek pada pars interartikularis. Faktor genetik juga berperan penting.
Pada tipe degeneratif, instabilitas intersegmental terjadi akibat penyakit diskus degeneratif atau facet arthropaty. Proses tersebut dikenal dengan spondilosis.
Pergeseran tersebut terjadi akibat spondilosis progresif pada 3 kompleks persendian tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan wanita usia tua yang umumnya terkena. Cabang saraf L5 biasanya tertekan akibat stenosis resesus lateralis sebagai akibat hipertropi ligamen atau permukaan sendi.
Pada tipe traumatik, banyak bagian arkus neural yang terkena/mengalami fraktur akan tetapi tidak pada bagian pars interartikularis, sehingga menyebabkan subluksasi vertebra yang tidak stabil.
Spondilolistesis patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai tulang, atau berasal dari metastasis atau penyakit metabolik tulang, yang menyebabkan mineralisasi abnormal, remodeling abnormal serta penipisan bagian posterior sehingga menyebabkan pergeseran (slippage). Kelainan ini dilaporkan terjadi pada penyakit Pagets, tuberkulosis tulang, Giant Cell Tumor, dan metastasis tumor.

E. Gambaran Klinis Spondilolistesis
Gejala paling sering adalah nyeri punggung bawah, biasanya dimulai pada usia yang lebih dini dan perlahan-lahan memburuk, yang diperkuat oleh gerakan ekstensi. Tetapi, nyeri dapat timbul mendadak bila ada cedera. Nyeri tungkai akibat kompresi radiks saraf kurang sering ditemukan. Bila deformitas berat maka kauda ekuina dapat terkena kompresi.
Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran klinisnya berupa back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan bokong, terutama selama aktivitas tinggi.
Gejala jarang berhubungan dengan derajat pergeseran(slippage), meskipun sangat berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda neurologis berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai sistem sensoris, motorik dan perubahan refleks akibat dari pergeseran serabut saraf (biasanya S1).
Progresifitas listesis pada individu dewasa muda biasanya terjadi bilateral dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa:
•    Terbatasnya pergerakan tulang belakang.
•    Kekakuan otot hamstring
•    Tidak dapat mengfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh.
•    Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal.
•    Hiperkifosis lumbosacral junction.
•    Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis).
•    Kesulitan berjalan.
Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya pada orang tua dan muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling sering terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4.
Gejala radikuler sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis dan hipertropi ligamen atau herniasi diskus. Cabang akar saraf L5 sering terkena dan menyebabkan kelemahan otot ekstensor hallucis longus. Penyebab gejala klaudikasio neurogenik selama pergerakan adalah bersifat multifaktorial.
Nyeri berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal/saluran dengan menegangkan ligamentum flavum, mengurangi overriding lamina dan pembesaran foramen. Hal tersebut mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri yang timbul.3

F. Diagnosis Spondilolistesis
Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis.
a. Gambaran klinis
Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala khas. Umumnya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya. Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang belakang merupakan ciri spesifik.
Gejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak sering terjadi kecuali jika terdapatnya bukti adanya subluksasi vertebra. Keadaan umum pasien biasanya baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak berhubungan dengan penyakit atau kondisi lainnya.
b. Pemeriksaan fisik
Postur paisen biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi bersifat ringan. Dengan subluksasi berat, terdapat gangguan bentuk postur. Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme otot.
Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan nyeri umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang nyeri tampak pada beberapa segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai timbul.
Ketika pasien diletakkan pada posisi telungkup (prone) di atas meja pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang.
Nyeri dan kekakuan otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus (fetal position). Defek dapat diketahui pada posisi tersebut.
Fleksi tulang belakang seperti itu membuat massa otot paraspinal lebih tipis pada posisi tersebut. Pada beberapa pasien, palpasi pada defek tersebut kadang-kadang sulit atau tidak mungkin dilakukan.
Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondilolistesis biasanya negatif. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada pasien dengan sindrom cauda equina yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.
c. Pemeriksaan radiologis
Foto polos vertebra lumbal merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri.
Film posisi AP, Lateral dan oblique adalah modalitas standar dan posisi lateral persendian lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis.
Posisi lateral pada lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal, membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena defek lebih terbuka pada posisi tersebut dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri.
Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti Bone scan atau CT scan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT scan.
Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto polos.
Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitif akan terjadi.
CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan baik, akan tetapi MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal, dan anatomi serabut saraf) lebih baik dibandingkan dengan foto polos. Xylography umumnya dilakukan pada pasien dengan spondilolistesis derajat tinggi.

G. Penatalaksanaan Spondilolistesis
1.    Terapi konservatif terdiri dari pembatasan aktivitas dan melakukan latihan tleksi. Korset lumbal bermanfaat untuk memberikan stabilitas tulang belakang.
2.    Pembedahan. Karena pasien tumbuh besar, dan terapi konservatif tidak berhasil menghentikan progresivitas penyakit ini, maka fusi spinal biasanya dilakukan.
Sering dokter menggunakan satu pengobatan atau kombinasi beberapa jenis pengobatan dalam rencana terapi pada pasien, dengan pemberian analgetik untuk mengontrol nyeri.
Hal tersebut bervariasi dari pemberian ibuprofen hingga acetaminofen, akan tetapi pada beberapa kasus berat, NSAIDs digunakan untuk mengurangi pembengkakan dan inflamasi yang dapat terjadi. Jadi terapi untuk spondilolistesis tingkat rendah masih bersifat konservatif, dengan istirahat/immobilisasi pasien dan pemberian anti-inflamasi secara bersamaan.
Meskipun demikian, pada beberapa kasus, intervensi bedah mungkin dibutuhkan.
  • Terapi konservatif
Terapi konservatif ditujukan untuk mengurangi gejala dan juga termasuk:
•    Modifikasi aktivitas, bedrest selama eksaserbasi akut berat.
•    Analgetik (misalnya NSAIDs).
•    Latihan dan terapi penguatan dan peregangan.
•    Bracing
Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada pasien muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low grade slip) yang diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat digunakan dengan beberapa tingkat keberhasilan.
Salah satu tantangan adalah dalam terapi pasien dengan nyeri punggung hebat dan menunjukkan gambaran radiografi abnormal. Pasien tersebut mungkin memiliki penyakit degeneratif pada diskus atau bahkan pergeseran ringan (low grade slip, <25%), dan biasanya nyeri yang terjadi tidak sesuai dengan pemeriksaan fisik dan gambaran radiografi.
Nyeri punggung merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab disabilitas yang paling sering. Adalah sangat penting untuk mempertimbangkan faktor tingkah laku dan psikososial yang berperan terhadap timbulnya disabilitas tersebut.
  • Terapi pembedahan
Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana gejalanya menyebabkan suatu disabilitas.
Jika gejala dapat secara langsung diketahui akibat dari defek pada pars interartikularis, dan kemudian repair secara pembedahan terhadap defek tersebut, melalui beberapa prosedur pembedahan, akan dapat mengurangi nyeri yang disebabkan oleh defek tersebut.
Tujuan terapi adalah untuk dekompresi elemen neural dan immobilisasi segmen yang tidak stabil atau segmen kolumna vertebralis. Umumnya dilakukan dengan eliminasi pergerakan sepanjang permukaan sendi(facets joints) dan diskus intervertebralis melalui arthrodesis (fusi).
Jika terjadinya subluksasi ringan dan degenerasi diskus yang dapat diidentifikasi dengan MRI, fusi spinal , biasanya bersaman dengan instrumentasi spinal merupakan pilihan terapi.
Karena pilihan terapi terbaik untuk beberapa pasien bervariasi diantara beberapa ahli bedah berpengalaman, konsultasi dengan ahli bedah tersebut merupakan pendekatan terbaik bagi pasien yang simtomatis, sebagai second opinion.
Pada pasien dengan spondilolistesis derajat tinggi (high grade spondilolysthesis) dengan gejala yang menetap dan dengan deformitas spinal/vertebra berat, intervensi pembedahan dengan berbagai pendekatan mungkin dibutuhkan.
Hal tersebut termasuk spinal instrumentation dan fusi. Usaha untuk meningkatkan alignment spinal/kesejajaran vertebra didasarkan pada beratnya deformitas spinal pada pasien tersebut dan risiko yang terjadi akibat penggunan pendekatan pembedahan tersebut.
Indikasi fusi spinal berbeda antara populasi pediatrik dan populasi dewasa. Pada pasien yang lebih muda, faktor dibawah ini diketahui berhubungan dengan meningkatnya progresifitas pergeseran vertebra (slip progression):
•    Usia muda (< 15 tahun).
•    Listesis grade tinggi (high grade listhesis>30%).
•    Jenis kelamin perempuan.
•    Tipe displastik.
•    Hipermobilitas lumbosacral.
•    Ligamentous laxity
Meskipun demikian banyak pasien muda diterapi dengan immobilisasi atau modifikasi aktivitas saja, dengan angka keberhasilan yang signifikan. Dengan tidak adanya tingkat pergeseran yang berat (high grade slip), gejala yang ringan, fusi biasanya tidak diindikasikan pada populasi tersebut.
Sebelum operasi dipertimbangkan pada pasien dewasa dengan spondilolistesis degeneratif, tanda neurologis minimal, atau hanya nyeri punggung mekanik (mechanical back pain), terapi konservatif harus diberikan pertama sekali, dan pertimbangan faktor psikososial dan sosial harus dipertimbangkan.
Indikasi intervensi bedah (fusi) pada pasien dewasa adalah:
•    Tanda neurologis- radikulopaty (yang tidak berespon dengan terapi konsrvatif)
•    klaudikasio neurogenik.
•    Pergeseran berat(high grade slip>50%)
•    Pergeseran tipe I dan Tipe II, dengan bukti adanya instabilitas, progresifitas listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif.
•    Spondilolistesis traumatik.
•    Spondilolistesis iatrogenik.
•    Listesis tipe III (degeneratif) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat.
•    Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan(gait abnormality).
1. Fusi
Terdapat berbagai metode untuk mendapatkan fusi intersegmental pada tulang lumbosacral. Berbagai metode tersebut antara lain:
1.    Posterolateral (intratransversus): umumnya arthrodesis bersamaan dengan penggunaan autograft crista iliaka atau dengan allograft. Instrumentasi spinal segmental membuat fiksasi kaku pada segmen fusi dan kemungkinan dilakukannya reduksi segmen dengan listesis tersebut.
2.    Lumbar interbody fusion: hal tersebut dapat meningkatkan stabilitas segmen spinal/vertebra dengan menempatkan/meletakkan bone graft untuk kompresi kolumna anterior dan media dan meningkatkan permukaan fusi tulang secara keseluruhan.
3.    Repair pars interartikularis: umumnya dengan menggunakan teknik Scott Wiring technique atau modifikasi Van Darm.
2. Fiksasi
Meskipun pemakaian/penggunaan instrumentasi spinal pada pasien dengan skeletal immature dipertimbangkan sebagai pilihan terapi bagi beberapa pasien dengan spondilolistesis isthmic, banyak ahli bedah vertebra/spinal yakin bahwa fiksasi kaku tersebut dibutuhkan untuk mendapatkan fusi solid yang valid. Untuk spondilolistesis degeneratif, fiksasi menunjukkan angka arthrodesis solid yang tinggi.
3. Dekompresi
Biasanya digunakan pada spondilolistesis traumatik atau degeneratif, dekompresi elemen neural baik sentral maupun perifer, diatas serabut saraf diindikasikan.
Dekompresi optimal biasanya didapatkan melalui laminectomy posterior atau facetectomy total dengan dekompresi radikal serabut saraf(misalnya Gill prosedure).
4. Reduksi
Beberapa ahli bedah berupaya mengurangi spondilolistesis untuk meningkatkan alignment(kesejajaran) sagital dan memperbaiki biomekanik vertebra/spinal.
Hal tersebut memiliki manfaat dalam memperbaiki posisi saat berdiri dan mengurangi tekanan/kekakuan pada massa fusi posterior sehingga mengurangi insidensi nonunion dan progresifitas spondilolistesis.

H. Prognosis Spondilolistesis

Fusi lumbal sebagai salah satu terapi pembedahan pada spondilolistesis telah sering digunakan di Amerika Serikat, dengan berbagai variasi pertimbangan.
Variasi tersebut bergantung pada banyak faktor, dari tersedianya instrumentasi yang baik hingga pemahaman tentang penyembuhan tulang.
Kurangnya indikasi jelas dalam dilakukannya fusi lumbal juga merupakan faktor lain yang juga ikut berperan dalam menentukan perlu tidaknya fusi lumbal. Bukti yang mendukung perlunya fusi pada spondilolistesis tipe I,II,III, dan IV dan spondilolistesis iatrogenik sangat kuat.
Akan tetapi terdapat beberapa kontroversi pada beberapa individu dengan tipe spondilolistesis degenratif (tipe III), skoliosis degeneratif dan nyeri punggung mekanik(mechanical back pain).
Hasil terapi terhadap spondilolistesis tipe isthmic yang merupakan spondilolistesis yang banyak terjadi belumlah menjanjikan. Banyak peneliti melaporkan angka outcome yang baik sekitar 75-90%. Pasien yang mendapatkan pembedahan melaporkan peningkatan kualitas hidup dan berkurangnya rasa/tingkatan nyeri yang dialami.
Menariknya, luaran/outcome yang didapatkan tidak berhubungan dengan derajat spondilolistesis atau besarnya sudut pergeseran yang terjadi.
Beberapa penelitian yang memfokuskan pada follow up jangka panjang mendukung terapi konservatif terhadap anak-anak dan dewasa dengan spondilolistesis yang asimptomatik (tipe I, tipe II), meskipun demikian banyak peneliti menyarankan untuk dilakukannya tindakan fusi bilamana pergeseran tersebut bersifat simptomatik, tidak berespon dengan terapi konservatif dan jika pergeseran yang terjadi berada dalam derajat tinggi (high grade spondilolistesis)

I.    Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan spondilo listhesis adalah:
1.    Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
2.    Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak nyaman nyeri, intoleransi aktifitas, penurunan kekuatan otot
3.    Deficit Self Care: mandi berhubungan dengan kelemahan
4.    Deficit Self Care: toileting berhubungan dengan kelemahan
5.    Deficit Self Care: dressing berhubungan dengan kelemahan

DAFTAR PUSTAKA
Osborn AG , Blasser  SI, Salzman KL, Katzman GL, Provenzale J, Castillo M, et all.  Osborn Diagnostic Imaging. Canada : Amirsys/Elsevier. 1st ed.  2004
Wilkins RH, Rengachary SS. Neurosurgery. USA : Mc Graw-Hill. 2nd Ed. 1996
Rengachary SS, Wilkins RH. Principles of  Neurosurgery. London :  Mosby. 1994
Winn HR. Youmans Neurological Surgery. 5th Ed. USA : Saunders. 1994

HYDROCEPHALUS



A.    PENGERTIAN
Hidrocephalus adalah: suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan cerebrospinal (CSS) dengan atau pernah dengan tekanan intra kranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya CSS.

B.    TANDA DAN GEJALA

1.    Pembesaran kepala.
2.    Tekanan intra kranial meningkat dengan gejala: muntah, nyeri kepala, oedema papil.
3.    Bola mata terdorong ke bawah oleh tekana dan penipisan tulang supraorbital.
4.    Gangguan keasadaran, kejang.
5.    Gangguan sensorik.
6.    Penurunan dan hilangnya kemampuan akrivitas.
7.    Perubahan pupil dilatasi.
8.    Gangguan penglihatan (diplobia, kabur, visus menurun).
9.    Perubahan tanda-tanda vital (nafas dalam, nadi lambat, hipertermi,/ hipotermi).
10.    Penurunan kemampuan berpikir.

C.    PATOFISIOLOGI

Produksi CSF terutama tergantung pada transporalselsan, terutama natrium melintasi membran epitel khusus dari pleksus koroideus ke dalam rongga ventrikel. Air secara pasif mengikuti untuk memudahkan keseimbangan osmotik. Hasilnya adalah masuknya cairan ke dalam ventrikel otak. Cairan berselulasi lewat akuaduktus silvi dan ventrikel keempat, masuk ke dalam ruang subarakhnoid melalui foramena lusheka dan megendie. Kemudian diabsorbsi ke dalam sirkulasi vena dari ruang subarakhnoid yang meliputi otak, sejumlah tertentu medula spinalis dan lapisan ependim yang melapisi ventrikel.

Proses terjadinya hidrosefalus dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.    Kelainan kongenital.
a.    Stenosis akuaduktus sylvii.
b.    Anomali pembuluh darah.
c.    Spino bifida dan kranium bifidi.
d.    Sindrom Dandy-walker.
2.    Infeksi.
Infeksi mengakibatkan perlekatan meningen (selaput otak) sehingga terjadi obliterasi ruang subarakhnoid, misalnya meningitis.
Infeksi lain yang menyebabkan hidrosefalus yaitu:
a.    TORCH.
b.    Kista-kista parasit.
c.    Lues kongenital.
3.    Trauma.
Seperti pada pembedahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan fibrosis epto meningen pada daerah basal otak, disamping organisasi darah itu sendiri yang mengakibatkan terjadinya sumbatan yang mengganggu aliran CSS.
4.    Neoplasma.
Terjadinya hidrosefalus disini oleh karena obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap aliran CSS. Neoplasma tersebut antara lain:
a.    Tumor ventrikel III.
b.    Tumor fossa posterior.
c.    Pailloma pleksus khoroideus.
d.    Leukemia, limfoma.
5.    Degeneratif.
Histositosis X, inkontinentia pigmenti dan penyakit krabbe.
6.    Gangguan vaskuler.
a.    Dilatasi sinus dural.
b.    Trombosis sinus venosus.
c.    Malformasi V. Galeni.
d.    Ekstaksi A. Basilaris.
e.    Arterio venosus malformasi.

D.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Nelhaus (1987) hidrosefalus sering mempunyai gejala-gejala dan tanda-tanda. Namun ada kasus-kasus samar yang tidak terdiagnosis sampai dewasa, dengan demikian perlu adanya ketelitian dlam menangani penderita yang diduga menderita hidrosefalus, mulai dari pengambilan amnanesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan radiologis.
1.    Aloamnanesis/ amnanesis.
Amnanesis perlu dilakukan untuk menentukan hidrosefalus kongenital atau akuisita. Bayi yang lahir prematur atau posterm dan merupakan kelahiran anak yang keberapa adalah penting sebagai faktor resiko. Adanya riwayat cedera kepala sehingga menimbulkan hematom, subdural atau perdarahan subarakhnoid yang dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus.
Demikian juga riwayat peradangan otak sebelumnya. Riwayat keluarga perlu dilacak, riwayat gangguan perkembangan, aktivitas, perkembangan mental, kecerdasan serta riwayat nyeri kepala, muntah-muntah, gangguan visus dan adanya bangkitan kejang.
2.    Pemeriksaan fisik.
Kesan umum penderita terutama bayi dan anak, proporsi kepala terhadap badan, anggota gerak secara keseluruhan tidak seimbang. Anak biasanya dalam keadaan tidak tenang, gelisah, iritable, gangguan kesadaran, rewel, sukar makan atau muntah-muntah.
Pada hidrosefalus kongenital kepala sangat besar, fontanela tidak menutup, sutura melebar, kepala tampak transluse, dengan tulang kepala yang tipis, adanya tanda mac ewens cracked pot, tanda berupa sunset sign dengan dahi yang lebar. Pada pemeriksan auskultasi kemungkinan akan terdengarnya bising daerah posterior oleh karena malformasi V. Galeni. Pertumbuhan kepala yang cepat mengakibatkan muka terlihat lebih kecil dan tampak kurus.
3.    Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan terhadap komposisi cairan serebrospinal dapat sebagai petunjuk penyebab hidrosefalus, seperti peningkatan kadar protein yang amat sangat terdapat pada papiloma pleksus khoroideuis, setelah infeksi susunan saraf pusat, atau perdarahan susunan saraf pusat atau perdarahan saraf sentral. Penurunan kadar glukosa dalam cairan serebrospinal terdapat pada invasi meninggal oleh tumor, seperti leukemia, medula blastama dan dengan pemeriksaan sitologis cairan serebrospinal dapat diketahui adanya sel-sel tumor. Meningkatnya kadar hidroksi doleaseti kasid pada cairan serebrospinal didapat pada obstruksi hidrosefalus. Pemeriksaan serologis darah dalam upaya menemukan adanya infeksi yang disebabkan oleh TORCH.
Penelitian sitologi kualitatif pada cairan serebrospinal neonatus dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat gangguan psikomotor.
4.    Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan foto polos kepala, pelebaran fontanela, serta pelebaran sutura. Kemungkinan ditemukannya pula keadaan-keadaan lain seperti adanya kalsifikasi periventrikuler sebagai tanda adanya infeksi cytomegalo inclusion dioase, kalsifikasi bilateral menunjukkan adanya infeksi tokso plasmosis. Pemeriksaan ultrasonografi, dapat memberikan gambaran adanya pelebaran sistem ventrikel yang lebih jelas lagi pada bayi, dan untuk diagnosis kelainan selama masih dalam kandungan.
Pemeriksaan CT-Scanning menunjukkan adanya pelebaran ventrikel. Disamping itu juga dapat untuk mempelajari sirkulasi cairan serebrospinal yaitu dengan menyuntikkan kontras radio opak ke dalam sisterna magna kemudian perjalan kontras diikuti dengan CT-Scan sehingga akan jelas adanya obstruksi terhdap cairan serebrospinal.
Pemeriksaan pneumoensefalografi, berguna untuk memantau dilatasi ventrikel dan ruang subarakhnoid. Apabila sudut korpus kolosum kurang dari 120 menunjukkan hidrosefalus komunikan, bila lebih dari 120 mungkin hidrosefalus obstruksi.

E.    MANAJEMEN TERAPI
Ada 3 prinsip pengobatan hidrosefalus:
1.    Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak sebagian pleksus khoroideus dengan tindakan reseksi (pembedahan) atau koagulasi.
Akan tetapi hasilnya kurang memuaskan. Obat-obatan yang berpengaruh disini antara lain:
a.    Diamox Cazetasolamoid.
b.    Isosorbid.
c.    Cairan osmotik (manitol, urea).
d.    Kartikosteroid dan diuretik.
e.    Fenobarbital.
2.    Memperbaiki hubungan antara tempat produksi cairan serebrospinal dengan tempat absorbsi yakni menghubungkan ventrikel dengan subarakhnoid.
3.    Pengeluaran CSS ke dalam rongga ekstra kranial dengan operasi pemasangan shunt. Operasi pemasangan shunt dilakukan sedini mungkin, tetapi biasanya dipasang pada usia 3-4 bulan, sedangkan revisi pada usia 18-24 bulan, 1-6 tahun, 10-12 tahun.
Prognosis hidrosefalus infatil mengalami perbaikan bermakna namun tidak dramatis dengan temuan operasi pisau. Jika tidak dioperasi 50-60% bayi akan meniggal karena hidrosefalus sendiri ataupun penyakit penyerta. Skitar 40% bayi yang bertahan memiliki kecerdasan hampir normal. Dengan bedah saraf dan penatalaksanaan medis yang baik, sekitar 70% diharap dapat melampaui masa bayi, sekitar 40% dengan intelek normal, dan sektar 60% dengan cacat intelek dan motorik bermakna. Prognosis bayi hidrosefalus dengan meningomilokel lebih buruk.

F.    FOKUS PENGKAJIAN
Pengkajian preoperasi: adanya riwayat meningitis, infeksi intrakranial/ hemoragie, anoxia prenatal atau infeksi intrauterine. Pada bayi dan anak pembesaran lingkar kepala yang progresif, ubun-ubun yang menonjol dan tegang serta tidak berdenyut, vena-vena kulit kepala melebar, sunset sign, gelisah dan cengeng, sering mual, muntah dan nafsu makan menurun, bila diperkusi didapat bunyi seperti pot kembang pecah. Pada anak yang lebih besar gejala utama yang menonjol adalah peningkatan TIK, muntah dan mengeluh sakit kepala, iritabel, pupil edema kejang baik vokal maupun umum, perubahan pupil, perubahan pola makan, perubahan tanda vital (tekanan darah, sistol naik, nadi turun, nafas tidak teratur).

G.    DIAGNOSA PERAWATAN

1.    Perfusi jaringan tidak efektif: serebral b.d peningkatan tekanan intrakranial, hipervolemia.
2.    Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pusat persepsi sensori
3.    Resiko defisit volume cairan b.d mual, muntah, anoreksia
4.    Kekurangan volume cairan b.d mual, muntah, anoreksia.
5.    Perubahan proses keluarga b.d perubahan status kesehatan anggota keluarga.


DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Rupseno, 1985, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak II, Jakarta, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
Lismidar, 1990, Proses Keperawatan, Jakarta, UI.
NANDA, 2000, Nursing Diagnosis Definition and Clasification, 2001-2002, Philadhelpia, USA.
Nelhaus, G. Stumpf, D.A. Moe, P.G.,1987, Neurological and Neuromusculer Disorder, Current Pediatric Diagnosis, Hinth ed.
Price, S.A., 1988, Patofisiologi Konsep Klimik Prose-proses Penyakit, Bag. II Terjemahan Adji Dharma, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Smith, C., 1988, Nursing Care Planning Guides for Children, California, Assisten Professor Child California State University Long Beach.
Tucker, S.M., 1988, Patient Care Standars, The Mosby Company, Washinton, USA

HEMATEMESIS




A.    Pengertian

Hematemesis adalah muntah darah yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran makan bagian atas. Warna hematemesis tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antara darah dengan asam lambung dan besar kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti kopi atau kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal.

B.    Etiologi

Hematemesis terjadi bila ada perdarahan di daerah proksimal jejenum dan melena dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan hematemesis. Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml. Banyaknya darah yang keluar selama hematemesis sulit dipakai sebagai patokan untuk menduga besar kecilnya perdarahan saluran makan bagian atas. Hematemesis merupakan suatu keadaan yang gawat dan memerlukan perawatan segera di rumah sakit. Etiologi dari Hematemesis melena adalah :
1.    Kelainan esofagus
a.    Varises esophagus
Penderita dengan hematemesis yang disebabkan pecahnya varises esophagus, tidak mengeluh rasa nyeri atau pedih di epigastrum. Pada umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan massif. Darah yang dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak membeku karena sudah bercampur dengan asam lambung
b.    Karsinoma eshopagus
Karsinoma eshopagus sering memberikan keluhan melena daripada hematemesis. Disamping mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis, hanya sesekali penderita muntah darah dan itu pun tidak massif.
c.    Sindroma Mallory – Weiss
Sebelum timbul hematemesis didahului muntah-muntah hebat yang pada akhirnya baru timbul perdarahan, misalnya pada peminum alcohol atau pada hamil muda. Biasanya disebabkan karena terlalu sering muntah-muntah hebat dan terus-menerus.
d.    Esofagitis dan tukak esophagus
Esophagus bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering intermitten atau kronis dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada hematemesis Tukak di esophagus jarang sekali mengakibatkan perdarahan jika disbandingkan dengan tukak lambung dan duodenum.
e.    Esofagogastritris korosiva
Pernah ditemukan enderita wanita dan pria yang muntah darah setelah tidak sengaja meminum air keras untuk patri. Air keras tersebut mengandung asam sitrat dan asam HCl yang bersifat korosif untuk mukosa mulut, esofhagus dan lambung. Penderita juga mengeluh nyeri dan panas seperti terbakar di mulut, dada, dan epigastrum.
2.    Kelainan di lambung
a.    Gastritis erisova hemoragika
Hematemesis bersifat tidak massif dan timbul setelah penderita minum obat-obatan yang menyebabkan iritasi lambung. Sebelum muntah penderita mengeluh nyeri ulu hati.
b.    Tukak lambung
Penderita mengalami dyspepsia berupa mual, muntah, nyeri ulu hati dan sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrum yang berhubungan dengan makanan. Sifat hematemesis tidak begitu massif dan melena lebih dominan dari hematemesis
c.    Karsinoma lambung
Insidensinya jarang, pasien umumnya berobat dalam fase lanjut dengan keluhan rasa pedih dan nyeri di ulu hati, rasa cepat kenyang, badan lemah. Jarang mengalami hematemesis, tetapi sering melena.
3.    Kelainan darah : polisetimia vera, limfoma, leukimia, anemia, hemofili, trombositopenia purpura.
Penting sekali menentukan penyebab dan tempat asal perdarahan saluran makan bagian atas, karena terdapat perbedaan usaha penanggulangan setiap macam perdarahan saluran makan bagian atas. Penyebab perdarahan saluran makan bagian atas yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya varises esofagus dengan rata-rata 45-50 % seluruh perdarahan saluran makan bagian atas (Hilmy 1971: 58 %)

C.    Patofisiologi
Mekanisme perdarahan pada hematemesis dan melena sebagai berikut :
1.    Perdarahan tersamar intermiten (hanya terdeteksi dalam feces atau adanyaanemia defisiensi Fe+
2.    Perdarahan masif dengan renjatan
Untuk mencari penyebab perdarahan saluran cerna dapat dikembalikanpada faktor-faktor penyebab perdarahan, yaitu :
a.    Faktor pembuluh darah (vasculopathy) seperti pada tukak peptik, pecahnyavarises esophagus
b.    Faktor trombosit (trombopathy) seperti pada Idiopathic Thrombocytopenia Purpura (ITP)
c.    Faktor kekurangan zat pembekuan darah (coagulopathy) seperti padahemophilia, sirosis hati, dan lain-lain
Pada sirosis kemungkinan terjadi ketiga hal di atas : vasculopathy (pecahnya varises esophagus); trombopathy (pengurangan trombosit di tekananperifer akibat hipersplenisme); coagulopathy (kegagalan sel-sel hati)
Khusus pada pecahnya varises esophagus ada 2 teori :
1.    Teori erosi : pecahnya pembuluh darah karena erosi dari makanan kasar(berserat tinggi dan kasar) atau konsumsi NSAID2.
2.    Teori erupsi : karena tekanan vena porta terlalu tinggi, atau peningkatantekanan intraabdomen yang tiba-tiba karena mengedan, mengangkat barangberat, dan lain-lain

D.    Manifestasi Klinis

Gejala yang ada yaitu :
a.    Muntah darah (hematemesis)
b.    Mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)
c.    Mengeluarkan darah dari rectum (hematoskezia)
d.    Denyut nadi yang cepat, tekanan darah rendah
e.    Akral terba dingin dan basah
f.    Nyeri perut
g.    Nafsu makan menurun
h.    Jika terjadi perdarahan berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya nemia, seperti mudah lelah, pucat, nyeri dada dan pusing

E.    Komplikasi
1.    Syok hipovolemik
Disebut juga dengan syok preload yang ditandai dengan menurunnya volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan volume intraventrikel. Pada klien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-28 jam.
2.    Gagal ginjal akut
Terjadi sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskuler.
3.    Anemia karena perdarahan

F.    Pemeriksaan Penunjang

1.    Laboratorium
a.         Darah : Hb menurun / rendah
b.         SGOT, SGPT yang meningkat merupakan petunjuk kebocoran dari sel yang mengalami kerusakan.
c.           Albumin, kadar albumin yang merendah merupakan cerminan kemampuan sel hati yang kurang.
d.          Pemeriksaan CHE (kolineterase) penting dalam menilai kemampuan sel hati. Bila terjadi kerusakan kadar CHE akan turun.
e.          Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan pembatasan garam dalam diet.
f.          Peninggian kadar gula darah.
g.        Pemeriksaan marker serologi pertanda ureus seperti HBSAg/HBSAB, HBeAg, dll
2.    Radiologi
a.        USG untuk melihat gambaran pembesaran hati, permukaan splenomegali, acites
b.       Angiografi untuk pengukuran vena portal

G.    Penatalaksanaan
    Penatalaksanaan medis
    - farmakologis
            H2RA / PPI, obat hemostatik
            sitoprotektor, antibiotika
    - penatalaksanaan khusus
            terapi hemostatik perendoskopik
            somatostatin jangka pendek
            embolisasi arteri daerah ulkus
    Penatalaksanaan bedah / operasi
    Pengobatan defenitif : SB tube, STE, LVE, TIPS,

Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul :
1.    Defisit volume cairan b.d. kehilangan darah akut
2.    Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. intake yang tidak adekuat
3.    Nyeri akut b.d. agen injuri biologis